Revolusi Industri pada Perkembangan Ekonomi dan Sosial di Indonesia | Tugas Penulisan

on Jumat, 26 Juni 2015

Revolusi Industri pada Perkembangan Ekonomi dan Sosial di Indonesia - Perkembangan dunia industri mempengaruhi beberapa hal diantaranya yaitu pada perkembangan ekonomi dan budaya sosial yang ada di indonesia. berikut ialah penjelasan dari judul di atas. 

#Pengaruh terhadap Ekonomi

Salah satu akibat dari munculnya Revolusi Industri adalah munculnya praktik kapitalisme dalam hal ekonomi. Ideologi kapitalisme berpendapat bahwa untuk meningkatkan pendapatan perlu ditunjang dengan jumlah modal atau kapital yang banyak, penguasaan sektor produksi, sumber bahan baku dan ditribusi. Indonesia atau pada saat itu bernama Hindia Belanda memiliki sumber daya alam yang hasilnya sangat laku di pasaran dunia.

Penemuan-penemuan teknologi baru telah mengantarkan wilayah Hindia Belanda menjadi incaran negara-negara maju dalam teknologi tersebut. Akhirnya perekonomian rakyat diperas, tetapi pemerintahan tidak pernah mampu memberikan kesejahteraan tersendiri untuk Indonesia. Indonesia menjadi lahan baru untuk para kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan.

Imperialisme modern telah mampu mengeruk ekonomi Indonesia dengan keuntungan yang gilang gemilang di tangan para imperialis, sementara rakyat menjadi kuli di rumahnya sendiri. Bangsa Indonesia sempat dikenalkan dengan beberapa sistem perekonomian dari dunia Barat, namun kerugian yang diderita oleh Indonesia jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang dihasilkan.

Perubahan mendasar terjadi ketika Indonesia mengalami masa sistem ekonomi liberal dan tanam paksa. Pada era ini rakyat diharuskan melakukan kegiatan ekonomi berupa pengolahan perkebunan yang cenderung hanya memperhatikan pada kebutuhan orang-orang Eropa saja, sedangkan kebutuhan rakyat pribumi, seperti pertanian, menjadi terabaikan.

Pada masa pemerintahan Raffles, dengan politik sewa tanahnya yang diilhami dari pengaruh paham liberal, rakyat Indonesia belum paham sepenuhya dengan sistem ekonomi uang. Sehingga system land rente dianggap mengalami kegagalan, karena rakyat masih terbiasa dengan sistem ekonomi tertutup, dimana pembayaran pajak belum sepenuhnya dengan uang tetapi in natura. Faktor utama lainnya yang dianggap sebagai biang kegagalan liberalisasi ekonomi Indonesia adalah masih kuatnya praktik budaya feodalisme.

Setelah Indonesia kembali menjadi jajahan Belanda, di bawah pengawasan Gubernur Jenderal van Den Bosch yang beraliran konservatif, diterapkan sistem tanam paksa yang bertentangan dengan sistem sewa tanah sebelumnya. Hal ini, menurut van Den Bosch, dikarenakan kondisi realitas Indonesia yang bersifat agraris, seperti halnya keadaan negara induk (Belanda) yang juga masih bersifat agraris.

Walaupun keadaan di Eropa, rentang waktu 1800–1830, sedang muncul pertentangan pemikiran, antara liberalis dan konservatis telah mengakibatkan kegamangan dalam pelaksanaan pemerintahan di negara jajahan. Tetapi satu hal yang perlu dipahami, baik konservatif yang akan meneruskan system politik VOC atau liberalis yang ingin meningkatkan taraf hidup rakyat, dalam tujuannya sama-sama menginginkan daerah jajahan perlu memberi keuntungan bagi negeri induk.

Keadaan ekonomi rakyat Indonesia semakin parah, seiring dengan diberlakukannya kebijakan Politik Pintu Terbuka. Hal ini menjadikan jiwa-jiwa wirausaha semakin menghilang, karena para petani, pedagang yang kehilangan lapangan sumber mata pencahariannya beralih menjadi buruh di perusahaan-perusahaan swasta asing.

Kondisi ekonomi bangsa Indonesia saat itu sangat menyedihkan. Hal itu dapat dilihat pada awal abad ke-20, diketahui bahwa penghasilan rata-rata sebuah keluarga di Pulau Jawa hanya 64 gulden setahun. Dengan penghasilan yang sangat sedikit itu, mereka harus melakukan berbagai kewajiban, antara lain untuk urusan desa. Hal itu menggambarkan betapa miskinnya rakyat Indonesia, padahal Indonesia memilki kekayaan alam yang melimpah.

Selama masa tanam paksa, pemerintah Belanda memperoleh keuntungan ratusan juta gulden. Keuntungan yang diperoleh itu semuanya digunakan untuk membangun negeri Belanda. Tidak ada pemikiran untuk menggunakan sebagian keuntungan itu bagi kepentingan Indonesia. Kemiskinan yang diderita rata-rata rakyat Indonesia adalah akibat politik drainage (politik pengerukan kekayaan) yang dilakukan pemerintah Belanda untuk kepentingan negeri Belanda. Politik dranaige itu mencapai puncaknya pada masa tanam paksa (cultuur stelsel) dan kemudian dilanjutkan pada masa sistem ekonomi liberal.

Sistem ekonomi liberal pun tidak meningkatkan taraf kehidupan rakyat. pada masa itu berkembang kapitalisme modern yang berlomba-lomba menanamkan modalnya di Indonesia, antara lain perkebunan raksasa. Pemerintah mengizinkan para pemilik modal menyewa tanah, termasuk tanah rakyat. Akibatnya, lahan untuk pertanian rakyat berkurang. Sebagian besar petani terpaksa menjadi buruh di pabrik atau perkebunan dengan upah yang rendah.

Pada sisi lain, perusahaan-perusahan pribumi mengalami kemunduran atau sama sekali gulung tikar sebab tidak mampu bersaing dengan modal raksasa. Pengusaha tekstil tradisional pun terpukul akibat membanjirnya tekstil yang diimpor dari Belanda. Para pengusaha pribumi juga dirugikan sebab pemerintah Belanda lebih banyak memberikan kemudahan kepada pedagang Cina.

#Pengaruh terhadap Sosial

Industrialisasi sejak semula sangat berkaitan dengan masalahmasalah sosial-kemasyarakatan. Adanya perbedaan pendapatan ekonomi cenderung membuat manusia mengukur segala sesuatu dengan mahal-murahnya harga sesuatu. Dengan perbedaan tersebut, muncullah diskriminasi sosial yang tidak manusiawi. Selain itu, ada pula dampak positif dari Revolusi Industri ini, yaitu dibukanya jalur transportasi darat yang baru rel kereta api guna mempercepat proses mobilisasi dan penyampaian informasikomunikasi.

a. Diskriminasi Sosial
Dalam bidang sosial terjadi perbedaan yang mencolok antara golongan Barat atau Belanda dengan golongan pribumi. Dalam bidang pemerintahan juga terjadi diskriminasi, pembagian kerja dan pembagian kekuasaan didasarkan pada warna kulit. Orang pribumi yang mendapatkan jabatan pastilah jabatan rendah dan dibatasi kekuasaannya. Diskriminasi juga terjadi di kalangan militer.

Untuk pangkat yang sama, gaji orang Indonesia yang berdinas dalam militer Belanda lebih rendah daripada gaji anggota militer Belanda. Bahkan diadakan pula perbedaan gaji antara serdadu Ambon dan serdadu Jawa. Diskriminasi berlaku juga di tempat hiburan. Ada tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki oleh orang Indonesia, seperti tempat pemandian, restoran bahkan pada angkutan umum, seperti kereta api lintas-kota atau trem (kereta api dalam kota).

Rupanya para penggagas Politik Etis hendak menciptakan hubungan yang harmonis antara Belanda dan golongan pribumi, namun kesamaan pandangan yang diharapkan ternyata tak berbuah seperti yang diharapkan. Orang-orang Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan dari Belanda, semakin menyadari tentang arti penting kemerdekaan yang pada akhirnya mereka menjadi pemuda-pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa diskriminasi berdasarkan ras menjadi salah satu faktor lahirnya pergerakan nasional.

b. Dibangunnya Jalur Transportasi Darat
Revolusi Industri secara tidak langsung berdampak pula dalam hal transportasi di Indonesia, terutama darat. Untuk mempermudah mobilitas penduduk dan perdagangan, pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api di Pulau Jawa. Hal ini dilakukan guna mempercepat hubungan komunikasi dan dagang. Untuk daerah pegunungan yang banyak terdapat perkebunan (misalnya di Jawa Barat), dibangun khusus jalur kereta api untuk mengangkut hasil bumi ke kawasan pabrik guna diolah menjadi bahan setengah jadi atau jadi.

Sesungguhnya jalur darat telah dibuka sejak masa Daendels memerintah Jawa, yaitu dengan dibukanya rute baru: Anyer- Panarukan yang membelah Pulau Jawa pada awal abad ke-19. Dengan tujuan semula untuk mempercepat proses informasikomunikasi antarkantor pos, maka Jalan Raya Pos (The Grote Postweg) ini pada masa selanjutnya berguna pula untuk jalur mobilitas penduduk yang ingin ke luar kota atau pulau.

c. Mobilitas Penduduk dan Masalah Demografi
Industrialisasi mengakibatkan perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar. Berdirinya pabrik-pabrik telah mendorong kehidupan baru dalam masyarakat Indonesai yang sebelumnya masyarakat agraris dan maritim. Terbentuklah komunitas pekerja kasar dan buruh yang bekerja di pabrik-pabrik partikelir (swasta). Kota-kota besar, terutama Jakarta dan Surabaya, merupakan tempat tujuan orang-orang untuk mengadu nasib.

Untuk mendapatkan pegawai-pegawai semacam juru ketik atau tulis yang murah maka pemerintah kolonial membangun sekolah-sekolah kejuruan guna menghasilkan tenaga-tenaga ahli dari pribumi yang tentunya jauh lebih murah honornya bila dibandingkan tenaga ahli dari Eropa. Tenaga tulis/ketik tersebut selain dipekerjakan di instansi pemerintahan, juga dipekerjakan pegawai rendah di perkebunan pemerintah.

Pada masa pelaksanaan ekonomi liberal sekolah didirikan untuk tujuan yang sama. Pada 1851, didirikan sekolah dokter pertama di Jawa yang sebenarnya merupakan sekolah untuk mendidik mantri cacar atau kolera. Maklum kala itu kedua penyakit tersebut sering menjadi wabah di beberapa daerah. Sekolah “mantri” tersebut kemudian berkembang menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandse Artsen) atau sekolah dokter pribumi.

Munculnya sekolah-sekolah ala Eropa di Jawa, khususnya Batavia dan Bandung, menggiring orang-orang dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan tempat-tempat lainnya berdatangan ke Jawa. Orang-orang di Jawa pun, terutama anakanak priyayi dan bangsawan atau pedagang kaya yang memiliki biaya lebih, berbondong-bondong datang ke Jakarta dan Bandung yang saat itu memiliki sekolah setingkat perguruan tinggi (THS dan STOVIA). Perpindahan atau mobilitas kaum terpelajar tersebut tentunya sangat memengaruhi populasi kota. Perubahan demografis cukup mecengangkan.
Ranking: 5

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

 
© AdrianFirmansyah! - Blogger Payah All Rights Reserved